Sebentar lagi ulang tahunku. Dan aku mulai cemas. Bukan cemas karena harus mentraktir tiga sahabatku, tapi lebih karena takut dikerjain.
Sobatku ini super kreatif. Waktu Indah ulang tahun, kami memutuskan untuk melemparinya dengan telur busuk. Hoek. Indah jadi bau banget! Kami semua tertawa. Tawa kami semakin lepas ketika Indah ngomel-ngomel.
Setelah puas tertawa, Indah kami bimbing ke kamar mandi sekolah. Kami sudah menyiapkan peralatan mandi dan baju baru sebagai hadiah ulang tahunnya. Acara berlanjut dengan makan bersama. Ditraktir Indah tentu saja.
Lain lagi saat Rossa ulang tahun. Karena Rossa ini takut banget sama cicak, maka kami memberikan kejutan berupa ekor cicak yang masih bergerak-gerak. Wuih. Rossa langsung histeris. Ia melompat dari bangkunya sambil melempar kotak beludru berisi ekor cicak itu. Ekspresinya sontak membuat kami terpingkal-pingkal.
Rossa tampak marah. Wajahnya merah padam menahan kesal. Tapi tak lama kemudian matanya berbinar-binar bahagia campur malu karena aku dan Mia membawa hadiah yang sangat spesial. Kak Doni, kakak kelas yang dipuja-puja oleh Rossa, masuk ke ruang kelas sambil membawa sebatang coklat. Alamak. Perubahan ekspresi Rossa ini bikin kami terkekeh geli. Mirip anak kecil yang lagi mewek lalu mendadak girang karena dikasih permen.
Paling heboh pas giliran Mia. Kami melibatkan guru untuk mengerjai Mia. Indah membuat laporan palsu ke pak Jantan, guru BP kami. Indah mengadu pada pak Jantan bahwa jam tangannya hilang dan ia mencurigai Mia. Untuk itu Indah meminta agar pak Jantan memanggil Mia ke ruang BP, maksudnya supaya teman-teman lain tidak tau insiden ini. Takut Mia jadi malu. Begitu alasannya Indah.
Sungguh pandai akting Indah. Pak Jantan percaya saja dan memanggil Mia ke ruang BP. Tentu saja sambil meminta Mia membawa tasnya. Kami setengah mati menahan geli melihat wajah panik Mia.
Kami bertiga mengantar Mia ke ruang BP. Tapi Mia masuk sendiri, sementara aku, Indah, dan Rossa mengintip dari jendela ruang BP. Samar-samar terdengar suara pak Jantan meminta ijin memeriksa tas Mia. Mia membuka tasnya dan menyerahkan pada pak Jantan. Kami menahan nafas saat pak Jantan mulai mengeluarkan isi tas Mia.
"ARRRGHH!" Gedubrak!! Jeritan tertahan dan suara kursi jatuh terdengar oleh kami.
Bola mata Indah melotot sempurna, seolah mau keluar dari rongganya. Demikian juga dengan aku dan Rossa. Kami juga reflek menutup mulut. Shock!
Tadinya kami berharap Mia yang menjerit dan terjatuh dari kursi saat mendapati tiga ekor anak tikus menggeliat diantara barang-barang di dalam tasnya. Tapi ini malah pak Jantan yang kelihatan sangat terkejut dan jijik melihat mahkluk warna pink itu.
Mia membekap mulutnya dengan kedua tangan. Jelas ia kesulitan menahan tawa. Matanya tak lepas menatap pak Jantan yang masih terduduk di lantai dengan wajah pucat pasi. Sedetik kemudian tubuh Mia berguncang-guncang.
"Gawat! Jangan, Mia. Jangan!" desisku, khawatir.
"HAHAHAHA!"
Astaga! Cah edan. Dia malah tertawa lepas.
"Maaf, Pak! Hahahaha. Maaf. Saya gak kuat. Hahaha!" ujar Mia sambil memegang perutnya. Wajahnya sudah penuh air mata. Mia tertawa sambil nangis.
Kami bertiga beringsut dari jendela, mengendap-endap menjauh. Tak sanggup kami melihat wajah marah pak Jantan. Mana Mia gak berhenti ketawa pula.
Besoknya kami berempat dihukum membersihkan WC. Sial sekali.
"Aduh. Tambah stres aku," gerutuku. Lusa hari ulang tahunku. Kira-kira mereka mau ngapain ya?
****
Hari ini aku super waspada. Mataku tak lepas dari Mia, Rossa, dan Indah. Aku jadi sensitif setiap Mia mendekati tasku. Khawatir diisi benda aneh-aneh. Aku juga mendadak tegang setiap Rossa menggandengku. Mau kemana? Mau ngapain?
Ketegangan mulai berkurang saat bel pulang sekolah berbunyi. Kawan sekelas diundang main ke rumah Dita. Mamahnya Dita habis ada acara demo masak, jadi di rumahnya belimpah kue-kue.
Tentu kami menyambut baik undangan ini. Hampir separuh kelas pergi ke rumah Dita. Termasuk aku dan tiga sobatku. Yang paling bahagia tentu saja aku. Soalnya gak perlu mentraktir, toh di rumah Dita sudah banyak makanan. Dan yang penting, aku enggak dikerjain. Sobatku gak mungkin ngerjain aku di rumah Dita. Iya kan? Mana mungkin Dita yang kalem dan lembut itu mau diajak kerjasama ngerjain orang.
"Apalagi ini yang ngundang kan Mamanya Dita. Masa iya Mamanya Dita sampai terlibat. Gak mungkin lah ya," batinku yakin.
BYUUR!!
Aku terlalu berbaik sangka. Hiks.
Saat sedang duduk manis di pinggir kolam renang rumah Dita, Rossa mendorongku.
Aku sontak menggapai-gapai permukaan air. Kakiku bergerak tak karuan. Mereka ini ngawur sekali. Aku kan gak bisa berenang!
Langit biru tampak menyilaukan. Mulutku beberapa kali meneguk air kolam. "Tolong! Tolong. Aku tenggelam!" ujarku lirih. Suaraku mungkin kalah oleh suara kecipak tangan dan kakiku.
Alih-alih menolong, Mia yang sedari tadi berada di dalam kolam malah diam saja. Demikian juga Rossa dan Indah. Aku tidak merasakan mereka mendekatiku, malah tawa mereka makin membahana.
Satu menit terasa seperti satu jam bagiku. Aku capek. Tubuhku serasa makin tenggelam. Ya Tuhan, inikah akhir hidupku? Aku menyesal sudah menolak tawaran Bunda untuk les renang. Bunda, maafkan putrimu ini.
Aku sedang sibuk meminta maaf pada Ayah, pada kak Sonya, pada Sugi adikku ketika kurasakan tubuhku diangkat dari air.
Aku dibopong ke pinggir kolam. Semua kawan sibuk mengelilingiku. Dita tergopoh-gopoh menyelimutiku dengan handuk besar. Mia, Rossa, dan Indah menatapku dengan bingung. Suasana canggung sekali. Hanya terdengar suara batukku.
"Ah. Kamu berat sekali, Shella," celetuk Andi mencairkan suasana. Rupanya dia yang tadi menyelamatkanku.
"Kalian jahat sekali. Aku hampir mati kok dibiarin aja." Aku menatap kesal ke arah Rossa.
"Kamu beneran tenggelam?" tanya Indah.
Ya ampun. Pertanyaan macam apa itu? Dikira aku pura-pura tenggelam??
"Iya, beneran lah! Mau mati aku tu!" jawabku kesal.
Eh, itu si Mia malah menutup mulut, dan sedetik kemudian badannya berguncang-guncang. "Apa dia mau ketawa? Heh?"
"Hahaha. Maaf. Maaf. Aku beneran gak bisa nahan." Si Mia semprul tertawa terbahak-bahak. Anehnya, Rossa dan Indah juga tampak terkikik. Teman-teman yang lain juga gak kelihatan prihatin malah tampak menahan senyum. Orang-orang ini kenapa sih?
"Shella, tinggi badanmu itu berapa?" tanya Ehsan.
"Seratus enam puluh delapan," jawabku.
"Kolam ini dalamnya 1,2 meter," kata Dita.
Semua mata menatapku kasihan. Aku makin bingung dong. "Terus kenapa??" aku sedikit membentak, kesal. Maksudnya apa coba membahas tinggi kolam.
"Ya kamu kan tadi tinggal berdiri aja, Dear," kata Indah dengan nada prihatin.
Tuhan!
Pantas saja tidak ada yang menolongku. Dikira aku becanda.
"Aku kan gak tau kalau kolamnya cetek," elakku.
"Kamu lihat kan aku mondar-mandir jalan-jalan di dalam kolam. Air cuma sedadaku. Lha kamu kan lebih tinggi dari aku," tambah Mia.
Iya juga ya. Mia sama aku selisih 30 cm. Kalau Mia aja gak tenggelam, apalagi aku.
Mendadak aku menangis. Kencang sekali.
"Eh. Eh. Kamu kenapa, Shella?"
Aku cuma geleng-geleng sambil terus menangis. Rasa kesal dan lega bercampur jadi satu. Enggak tau kesal pada Rossa karena telah mendorongku, atau kesal pada diri sendiri karena tidak terpikir untuk berdiri. Entah apa jadinya jika tadi Andi tidak segera menolongku.
Momen tenggelam itu kumanfaatkan untuk mendesak tiga sobatku menghapus tradisi ngerjain di kala ultah. Aku trauma. Sejak saat itu aku tidak pernah berani mendekat ke kolam renang manapun.
****
Seminggu kemudian, heboh berita soal perayaan ulang tahun yang merenggut nyawa. Seorang gadis tewas setelah dicemplungin ke kolam ikan dan tidak sengaja menyentuh tiang listrik di dekat kolam tersebut. Perayaan ulang tahun si gadis seketika berubah jadi perayaan kematian.
Aku, Mia, Rossa dan Indah saling menatap dalam diam setelah membaca berita itu. Terbayang kembali peristiwa di kolam renang rumah Dita. Seandainya Andi tidak menyadari bahwa aku beneran tenggelam, bisa jadi fotoku akan terpampang di laman berita, seperti gadis malang itu.
TAMAT
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel
Komentar
Posting Komentar