Pubertas Dini Pada Anak Perempuan

"Si A mens," bisik adek saya, menyebut nama putrinya.


Saya pun auto kaget. Keponakan saya itu belum genap berusia 9 tahun, masih kelas 3 SD. Memang setahun yang lalu payudaranya kelihatan tumbuh. Kecil sih, tapi sudah terlihat sedikit menonjol, tidak rata seperti anak seusianya.


Saya baru percaya kalau A beneran mens setelah melihat noda di celana dalamnya. Hitam coklat kemerahan khas darah menstruasi. Entah kenapa perasaan saya campur aduk. Antara bingung, shock, dan khawatir.


"Anak yang makannya masih kerap disuapin Uti-nya ini udah harus belajar pasang pembalut sendiri?!" 😭


Sepertinya adik saya selaku ibu si A juga merasakan kegundahan yang sama. Kami merasa hal tersebut tidak normal. Saya dan adik saya mengalami menstruasi di usia belasan (kelas 1 SMP). Kami masih ingat ketika SD dulu --saya dan adik saya satu SD--, ada teman saya yang mengalami datang bulan di usia 10 tahun, saat masih kelas 5 SD. Itu dia langsung jadi perbincangan satu sekolahan lho. Soalnya waktu itu anak kelas 6 pun belum banyak yang mengalami menstruasi.


"Aku baca soal pubertas dini kok ngeri ya," kata adek saya sambil kirim link berita ini.



Setelah baca itu, saya pun menyarankan agar A dibawa ke dokter saja untuk konsultasi. Adik saya setuju. Tapi masalahnya, dibawa ke dokter apa nih? Dokter anak, dokter kandungan, atau dokter apa?



Saya pun coba searching, lalu ketemu artikel yang menyebutkan bahwa dokter yang menangani hal ini adalah dokter endrokinologi. Oke lah, saya pun cari info soal dokter endrokinologi di Semarang via google.


Ternyata susah juga, gak ketemu-ketemu dokter endrokinologi wanita di Semarang 😅 Udah coba kata kunci "dokter hormon anak semarang", "dokter endrokin semarang", "dokter spesialis endrokinologi semarang" tapi yang muncul tidak sesuai harapan. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga di artikel yang ini 😍



Adik saya segera daftar online di RS Kariadi. Kami pilih jadwal Selasa jam 08.00-12.00 wib.



Hari selasa pukul 09.30 wib kami sampai di RS Kariadi Semarang. Meski telah daftar online, namun karena pasien baru --belum punya nomor Rekam Medis (RM)-- jadi kami masih harus antri lagi di administrasi pendaftaran rawat jalan.


Di booth warna hijau ini untuk informasi dan ambil nomor antrian administrasi rawat jalan


Suasana antrian administrasi rawat jalan
Nanti jika sudah dapat no RM bisa langsung antri di poli apabila telah daftar online 


Jam 11.00 kami kelar di antrian administrasi, lalu kami bergegas menuju laboratorium di dekat poli anak. Disini kami menuju kasir dan membayar sebesar Rp 25.000 (pasien umum).


Laboratorium sekaligus kasir (kanan) di sebelah poli anak


Setelah dari kasir, kami menyerahkan bukti pendaftaran dan pembayaran ke poli anak.


Sekitar 10 menit setelahnya, nama keponakan saya dipanggil. Ia diukur tinggi dan berat badan, lalu diminta duduk kembali menunggu panggilan berikutnya.


Setelah menunggu 10 menit, nama A kembali dipanggil. Kali ini menghadap asisten dokter alias residen. Ditanya soal keluhan, soal tanda-tanda awal, lalu dilihat payudaranya.


"Bu. Silahkan duduk di luar dulu, nanti akan dipanggil kembali untuk bertemu bu dokter," kata sang asisten setelah selesai mencatat.


Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 wib ketika akhirnya nama A dipanggil.



Kami duduk di depan dokter dan mendengarkan sang asisten yang tengah menjelaskan pada dokter hasil catatannya tadi.


dr Agustini Utari (kanan) dan residen (kiri)


Keponakan saya diminta berbaring, lalu bu dokter dan seorang perawat memeriksa


Bu dokter kemudian menerangkan bahwa 60% penyebab menstruasi dini pada anak tidak diketahui. Adapun 40% nya bisa karena tumor di otak, bisa juga karena mium/kista.


"Kita lihat umur tulangnya ya Bu. Kadang umur kita dengan umur tulang kan lain. Saat ini adik umurnya 8 tahun 8 bulan, tapi bisa saja umur tulangnya sudah 11 tahun," jelas bu dokter.


Menurut dokter, kalau tulangnya belum nutup (belum penuh), maka masih bisa mengontrol hormonnya dan membuat menstruasinya tertunda (berhenti). Tapi kalau sudah nutup ya sudah tidak bisa dikejar lagi. Kurang lebih begitu penjelasan bu dokter. Bu dokter juga menyebutkan soal syaraf di otak yang mengontrol hormon menstruasi, hipo apaaa gitu lho. Aiiih... harusnya direkam ya pas bu dokter nerangin 🫢


Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk mendukung pemeriksaan awal adalah MRI (untuk cek apakah ada massa di otak), USG (untuk melihat kondisi kandungan, ada kista atau miom apa enggak), cek tulang (di radiologi untuk melihat umur tulang), dan cek hormon (diambil darahnya untuk tes hormon).


Biaya untuk MRI otak cukup mahal, sekitar 5 juta rupiah. USG di kisaran 700ribu, radiologi sekitar 200ribu, dan tes hormon mencapai Rp 1.000.000.


Nanti apabila tulangnya belum nutup, maka bisa dilakukan terapi hormon agar menstruasinya berhenti. Terapi hormon disini yaitu disuntik hormon setiap bulan. Suntikan ini biayanya sekitar Rp 900.000 sekali suntik.


"Misal kita biarkan saja dok, tidak kita terapi. Apa yang terjadi?" tanya saya.


"Untuk fisiknya ya berarti pertumbuhan tulangnya tinggal 5% saja. Artinya jika saat ini tinggi adek 144cm, maka nantinya akan tumbuh maksimal sampai 153cm lah," jawab bu dokter.


Dari penjelasan bu dokter, saya mengambil kesimpulan bahwa syaraf di otak yg mengatur hormon menganggap tubuh A sudah cukup umur untuk menstruasi. Bisa jadi karena tulangnya sudah cukup umur, maka otak merespon hal itu sebagai kode untuk mempercepat proses pembuahan.


Keponakan saya ini memang tergolong cepat tinggi. Mungkin --ini mungkin lho yaa-- karena kebanyakan minum susu. Dari usia 2 tahun sampai sekarang, setiap hari minum susu 3x 1 kotak 200ml. Hal ini dimaksudkan agar terpenuhi gizinya. Soalnya keponakan saya itu susah kalo disuruh makan. Makanya kurus badannya.


Tapi sekali lagi ini cuma teori pribadi. Kalau menurut artikel yang kami baca, makanan junk food dan cepat saji juga memicu pubertas dini. Well, keponakan saya emang suka dengan makanan kriuk-kriuk begini. Kadang yang dimakan tepung krispinya, bukan ayamnya 🤣


Kiranya pengalaman kami ini bisa jadi gambaran untuk anda yang memiliki putri dengan gejala seperti keponakan saya. Keponakan saya sudah menunjukkan gejala ketika berumur 6,5 tahun. Tubuhnya mulai cepat tinggi, lalu payudaranya mulai berubah, celana dalamnya juga mulai flek kuning-kuning.


Adapun pemeriksaan lanjutan di atas (MRI, USG, cek tulang, cek hormon) belum kami lakukan dengan alasan biaya. Selain itu, membayangkan keponakan saya disuntik tiap bulan sampai usia 11 tahun demi tidak mens kok rasanya gak tega.


"Udah gapapa lah tingginya mentog 153cm. Udah cukup cewek tinggi segitu. Aku juga cuma 148 cm," kata saya.


"Iya, Mba. Mungkin ini cara Allah menjawab doaku. Dulu kan aku selalu takut kalo putriku tumbuh terlalu tinggi. Sekarang muncul jawaban seperti ini," ujar adik saya.


****





Komentar