Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau saya akan berjilbab syar'i seperti sekarang ini.
11 tahun yang lalu, jangankan jilbab panjang. Pakai kerudung model selendang yang di bebat seadanya ke kepala aja saya risih.
Diajak Jadi Dosen
Saya kaget ketika hari itu, suatu hari di tahun 2007, pak dosen pembimbing skripsi saya menawari saya untuk menjadi dosen di sebuah universitas swasta.
"Saya, Pak?" Saya mengerjap-ngerjap tak percaya. Fresh graduate yang prestasi nya tidak menonjol macam saya, bisa gitu jadi dosen?
"Iya. Ini universitasnya mau buka program baru. Nanti saya ajak kamu untuk rapat pembahasan. Tapi karena ini universitas Islam, kamu nanti pakai jilbab ya", kata dosen saya.
Saya pun galau. Pertama, saya tidak percaya dengan kemampuan diri saya. Yang kedua, soal berjilbab.
Saya gak keberatan sih pakai jilbab. Bagaimanapun juga kan saya orang Islam. Masalahnya, saya gak punya jilbab! Males aja kalau bela-belain beli jilbab. Baju panjang juga kayaknya gak ada deh. Baju saya rata-rata lengan pendek dan beberapa model you can see.
Di tengah kebingungan itu, saya curhat ke mama saya. Dan mama saya antusias mendengar anaknya ini mau direkrut jadi dosen.
"Mau aja. Nanti soal jilbab bisa pakai punya Mama dulu", kata mama saya dengan semangat. Mama saya punya beberapa jilbab pendek. Inventaris, untuk dipakai saat ada undangan pengajian ibu-ibu di kampung.
Dua hari kemudian saya pergi bersama dosen saya ke universitas tersebut untuk rapat perdana Saya sudah rapih: pakai atasan lengan panjang, celana panjang, sepatu dan jilbab instan seleher. Baju dan jilbab pinjam punya mama. Saya modal celana dan sepatu.
Tidak ada yang luar biasa saat saya memakai jilbab untuk pertama kalinya. Tidak ada rasa deg-degan ataupun rasa canggung. Rasanya ya seperti pakai kostum aja.
Pulang dari meeting, jilbab segera saya lepas. Gerah.
Sekali rapat, dua kali rapat, tiga kali rapat. Kok...terasa nyaman ya pakai baju tertutup begini. Gak ada yang usil sama saya (biasanya banyak cowok yang suka menggoda), gak khawatir kelihatan dadanya saat harus nunduk-nunduk ngambil sesuatu, gak ada yang memperhatikan saya. Rasanya tuh...MERDEKA. I love it!
Sedikit demi sedikit saya mulai membeli jilbab dan baju lengan panjang. Gak enak kalau pinjam mama terus. Lagian saya kurang cocok dengan modelnya. Kan saya kepingin tampil trendy juga.
Selain model baju, saya juga mencari bahan-bahan yang nyaman dipakai. Cuaca Semarang kan panas banget. Saya pilih baju yang adem. Demikian juga jilbab. Saya pilih yang nyaman supaya tidak pusing saat dipakai lama.
Sejak saat itu saya mulai membiasakan diri kemana-mana pakai jilbab. Jadi gak cuma pas mau rapat aja. Pas mau jalan-jalan ke Mall, pas mau ke saudara, pokoknya kalau keluar rumah saya pakai hijab.
Yang lucu adalah, saya batal jadi dosen 🤣
Program studi yang diajukan tidak lolos di Diknas karena ada syarat-syarat yang belum terpenuhi. Ya sudah. Belum rejeki saya jadi dosen.
Padahal dulu awalnya saya pakai jilbab hanya sebagai syarat saja supaya bisa jadi dosen. Qadarallah...malah keterusan.
Dicurigai Keluarga
Seiring dengan jilbab yang melekat, saya pun mulai tergerak untuk belajar agama lebih dalam. Sholat sudah mulai rajin, saya pun coba ikut pengajian dan memperbanyak baca-baca buku soal Islam.
Dari kajian-kajian tersebut, saya mendapati bahwa memakai jilbab seharusnya yang panjang sampai menutup dada. Waduh...jilbab saya kan pendek-pendek.
Tidak menunggu lama, saya pergi ke salah satu toko busana muslim. Saya membeli jilbab yang agak panjang, yang menutupi dada. Saya pensiunkan jilbab-jilbab pendek milik saya.
Mama saya sepertinya bingung dengan perubahan saya. Dari yang sebelumnya memakai jilbab se-uprit, sekarang ganti dengan jilbab panjang melambai-lambai. Tapi beliau diam saja, tidak berkomentar apa-apa.
Lalu sejalan dengan pemahaman agama yang semakin dalam, saya mulai meninggalkan celana panjang dan pilih pakai gamis lebar.
Di sini mama saya tampak khawatir.
Puncaknya saat saya memutuskan mengganti jilbab sedada dengan jilbab sepanjang perut. Bagi mama, penampilan saya terlalu ekstrim. Beliau langsung menginterogasi saya.
"Kamu ikut aliran apa? Kenapa jilbabmu panjang sekali?" Saat itu memang mulai marak isu teroris. Mama saya takut kalau saya salah jalan.
Saya yang merasa berada di jalan yang benar, tersinggung dengan sikap mama. "Mama ini gimana sih. Bukannya bersyukur anaknya jadi sholehah, kok malah curiga?!" saya membatin. Kesal.
Setelah kejadian itu, saya semakin menutup diri dari keluarga. Saya sengaja menyibukkan diri di luar rumah, malas aja ketemu dengan anggota keluarga.
Tindakan yang fatal, karena ini malah membuat keluarga saya semakin curiga 😔
Perdamaian
Saya merasa ada yang salah dengan kondisi ini. Islam itu kan agama perdamaian, tapi kenapa saat saya mendalami agama kok malah hubungan dengan keluarga jadi gak baik gini?
Saya lalu mencoba konsultasi ke seorang ustad.
Sang ustad bilang begini: "Jalanmu sudah benar. Tapi keluargamu itu butuh waktu. Wajar jika mereka khawatir, karena di mata mereka perubahanmu ini terlalu cepat."
"Ustad, saya itu menghabiskan lebih dari 2 tahun lho untuk sampai di tahap ini! Apanya yang terlalu cepat?"
Saya cuma membatin sih. Gak berani protes, takut kuwalat.hehe.
"Berdoa terus ke Allah, minta agar keluargamu diberi hidayah. Sebaiknya kamu juga membuka diri. Bukankah tak kenal maka tak sayang? Cobalah kenalkan ilmu yang sudah kau dapat ke keluargamu. Jelaskan secara baik-baik. Mereka begitu kan karena belum tau. Nanti kalau sudah tau InsyaAllah ya bisa menerima, " lanjut pak ustad.
Nasehat tersebut saya cerna baik-baik. Iya ya, mungkin perubahan saya terlalu drastis. Dan info yang mereka dapat juga minim. Sedangkan saya yang seharusnya jadi sumber info malah menutup diri.
Esoknya saya mulai berubah. Prinsip saya: mundur 1 langkah untuk maju 3 langkah. Saya simpan dulu jilbab seperut, saya ganti dengan jilbab yang sedada.
Saya mulai mendekat ke keluarga. Mencoba mengakrabkan diri. Harus give dulu, baru take. Kasih dulu, baru nanti kita bisa mendapat hasil.
Saya ajak mama saya kajian, terutama kalau pas ada ustad terkenal yang mengisi. Saya juga menonton kajian yang ada di televisi. Karena TV berada di ruang keluarga, praktis anggota keluarga yang lain juga ikut nonton. Minimal dengar lah saat berjalan melewati ruang keluarga. Dari sini mama dan keluarga jadi tau, bahasan agama seperti apa yang saya ikuti.
Supaya mama saya tau senyaman apa pakai jilbab panjang, saya ajak beliau ke toko busana muslim. Saya belikan jilbab sedada. Saya carikan bahan yang jatuhnya bagus dan adem. Alhamdulillah, mama saya berkenan. Beliau kemudian mulai terbiasa dengan jilbab sedada.
Mama saya pun paham bahwa berhijab artinya tidak sebatas menutup rambut dan membebat tubuh. Berhijab adalah menutup seluruh tubuh (kecuali muka dan telapak tangan) agar tidak nampak lekuk-lekuknya. Jadi ya memang harus longgar baju maupun jilbabnya.
Saya pun bahagia karena beliau juga mulai mencoba pakai jilbab seperut. "Enak nih kalau mau sholat. Gak usah bawa-bawa mukena", katanya. Yes, akhirnya beliau merasakan kenyamanan yang saya rasakan.
Dan ketika akhirnya saya kembali memakai jilbab seperut, tidak ada reaksi (kontra) apapun dari keluarga. Mereka biasa aja.
Senangnyaaa. Berarti mereka sudah menerima perubahan saya 😍
Kekuatan Doa
Pada akhirnya semua wanita di keluarga saya memakai hijab. Tidak serta merta sih. Pertama ibu saya. Lalu tahun berikutnya adik ipar saya. Dan akhirnya 2 tahun kemudian adik perempuan saya.
Semua ini tak lepas dari doa yang kami panjatkan setiap sholat. Doa yang ibarat tetesan air di atas batu. Hanya setitik. Tapi meski membutuhkan waktu yang lama, suatu hari pasti batunya bolong juga. Begitulah keyakinan saya.
Sungguh bersyukur karena Allah berkenan mengabulkan. Bahagia rasanya melihat ibu dan adik saya istiqomah berhijab.
Kata orang, meraih itu jauh lebih mudah daripada mempertahankan. Maka saat ini kami berdoa, terus berdoa, semoga kami bisa terus mempertahankan keimanan kami. Semoga Allah tidak mencabut hidayah yang sudah dikaruniakan-Nya. Dan semoga kami bisa mati dalam keadaan husnul khotimah. Amiin.
*Artikel ini diikut sertakan dalam lomba blog #journeytosyari yang diadakan oleh Ava Lable.
11 tahun yang lalu, jangankan jilbab panjang. Pakai kerudung model selendang yang di bebat seadanya ke kepala aja saya risih.
Diajak Jadi Dosen
Saya kaget ketika hari itu, suatu hari di tahun 2007, pak dosen pembimbing skripsi saya menawari saya untuk menjadi dosen di sebuah universitas swasta.
"Saya, Pak?" Saya mengerjap-ngerjap tak percaya. Fresh graduate yang prestasi nya tidak menonjol macam saya, bisa gitu jadi dosen?
"Iya. Ini universitasnya mau buka program baru. Nanti saya ajak kamu untuk rapat pembahasan. Tapi karena ini universitas Islam, kamu nanti pakai jilbab ya", kata dosen saya.
Saya pun galau. Pertama, saya tidak percaya dengan kemampuan diri saya. Yang kedua, soal berjilbab.
Saya gak keberatan sih pakai jilbab. Bagaimanapun juga kan saya orang Islam. Masalahnya, saya gak punya jilbab! Males aja kalau bela-belain beli jilbab. Baju panjang juga kayaknya gak ada deh. Baju saya rata-rata lengan pendek dan beberapa model you can see.
Di tengah kebingungan itu, saya curhat ke mama saya. Dan mama saya antusias mendengar anaknya ini mau direkrut jadi dosen.
"Mau aja. Nanti soal jilbab bisa pakai punya Mama dulu", kata mama saya dengan semangat. Mama saya punya beberapa jilbab pendek. Inventaris, untuk dipakai saat ada undangan pengajian ibu-ibu di kampung.
Dua hari kemudian saya pergi bersama dosen saya ke universitas tersebut untuk rapat perdana Saya sudah rapih: pakai atasan lengan panjang, celana panjang, sepatu dan jilbab instan seleher. Baju dan jilbab pinjam punya mama. Saya modal celana dan sepatu.
Tidak ada yang luar biasa saat saya memakai jilbab untuk pertama kalinya. Tidak ada rasa deg-degan ataupun rasa canggung. Rasanya ya seperti pakai kostum aja.
Pulang dari meeting, jilbab segera saya lepas. Gerah.
Sekali rapat, dua kali rapat, tiga kali rapat. Kok...terasa nyaman ya pakai baju tertutup begini. Gak ada yang usil sama saya (biasanya banyak cowok yang suka menggoda), gak khawatir kelihatan dadanya saat harus nunduk-nunduk ngambil sesuatu, gak ada yang memperhatikan saya. Rasanya tuh...MERDEKA. I love it!
Sedikit demi sedikit saya mulai membeli jilbab dan baju lengan panjang. Gak enak kalau pinjam mama terus. Lagian saya kurang cocok dengan modelnya. Kan saya kepingin tampil trendy juga.
![]() |
Gaya saya di tahun 2009 |
Selain model baju, saya juga mencari bahan-bahan yang nyaman dipakai. Cuaca Semarang kan panas banget. Saya pilih baju yang adem. Demikian juga jilbab. Saya pilih yang nyaman supaya tidak pusing saat dipakai lama.
Sejak saat itu saya mulai membiasakan diri kemana-mana pakai jilbab. Jadi gak cuma pas mau rapat aja. Pas mau jalan-jalan ke Mall, pas mau ke saudara, pokoknya kalau keluar rumah saya pakai hijab.
Yang lucu adalah, saya batal jadi dosen 🤣
Program studi yang diajukan tidak lolos di Diknas karena ada syarat-syarat yang belum terpenuhi. Ya sudah. Belum rejeki saya jadi dosen.
Padahal dulu awalnya saya pakai jilbab hanya sebagai syarat saja supaya bisa jadi dosen. Qadarallah...malah keterusan.
Dicurigai Keluarga
Seiring dengan jilbab yang melekat, saya pun mulai tergerak untuk belajar agama lebih dalam. Sholat sudah mulai rajin, saya pun coba ikut pengajian dan memperbanyak baca-baca buku soal Islam.
Dari kajian-kajian tersebut, saya mendapati bahwa memakai jilbab seharusnya yang panjang sampai menutup dada. Waduh...jilbab saya kan pendek-pendek.
Tidak menunggu lama, saya pergi ke salah satu toko busana muslim. Saya membeli jilbab yang agak panjang, yang menutupi dada. Saya pensiunkan jilbab-jilbab pendek milik saya.
Mama saya sepertinya bingung dengan perubahan saya. Dari yang sebelumnya memakai jilbab se-uprit, sekarang ganti dengan jilbab panjang melambai-lambai. Tapi beliau diam saja, tidak berkomentar apa-apa.
Lalu sejalan dengan pemahaman agama yang semakin dalam, saya mulai meninggalkan celana panjang dan pilih pakai gamis lebar.
Di sini mama saya tampak khawatir.
Puncaknya saat saya memutuskan mengganti jilbab sedada dengan jilbab sepanjang perut. Bagi mama, penampilan saya terlalu ekstrim. Beliau langsung menginterogasi saya.
"Kamu ikut aliran apa? Kenapa jilbabmu panjang sekali?" Saat itu memang mulai marak isu teroris. Mama saya takut kalau saya salah jalan.
Saya yang merasa berada di jalan yang benar, tersinggung dengan sikap mama. "Mama ini gimana sih. Bukannya bersyukur anaknya jadi sholehah, kok malah curiga?!" saya membatin. Kesal.
Setelah kejadian itu, saya semakin menutup diri dari keluarga. Saya sengaja menyibukkan diri di luar rumah, malas aja ketemu dengan anggota keluarga.
Tindakan yang fatal, karena ini malah membuat keluarga saya semakin curiga 😔
Perdamaian
Saya merasa ada yang salah dengan kondisi ini. Islam itu kan agama perdamaian, tapi kenapa saat saya mendalami agama kok malah hubungan dengan keluarga jadi gak baik gini?
Saya lalu mencoba konsultasi ke seorang ustad.
Sang ustad bilang begini: "Jalanmu sudah benar. Tapi keluargamu itu butuh waktu. Wajar jika mereka khawatir, karena di mata mereka perubahanmu ini terlalu cepat."
"Ustad, saya itu menghabiskan lebih dari 2 tahun lho untuk sampai di tahap ini! Apanya yang terlalu cepat?"
Saya cuma membatin sih. Gak berani protes, takut kuwalat.hehe.
"Berdoa terus ke Allah, minta agar keluargamu diberi hidayah. Sebaiknya kamu juga membuka diri. Bukankah tak kenal maka tak sayang? Cobalah kenalkan ilmu yang sudah kau dapat ke keluargamu. Jelaskan secara baik-baik. Mereka begitu kan karena belum tau. Nanti kalau sudah tau InsyaAllah ya bisa menerima, " lanjut pak ustad.
Nasehat tersebut saya cerna baik-baik. Iya ya, mungkin perubahan saya terlalu drastis. Dan info yang mereka dapat juga minim. Sedangkan saya yang seharusnya jadi sumber info malah menutup diri.
Esoknya saya mulai berubah. Prinsip saya: mundur 1 langkah untuk maju 3 langkah. Saya simpan dulu jilbab seperut, saya ganti dengan jilbab yang sedada.
![]() |
Terkadang saya masih pakai jilbab sedada |
Saya mulai mendekat ke keluarga. Mencoba mengakrabkan diri. Harus give dulu, baru take. Kasih dulu, baru nanti kita bisa mendapat hasil.
Saya ajak mama saya kajian, terutama kalau pas ada ustad terkenal yang mengisi. Saya juga menonton kajian yang ada di televisi. Karena TV berada di ruang keluarga, praktis anggota keluarga yang lain juga ikut nonton. Minimal dengar lah saat berjalan melewati ruang keluarga. Dari sini mama dan keluarga jadi tau, bahasan agama seperti apa yang saya ikuti.
Supaya mama saya tau senyaman apa pakai jilbab panjang, saya ajak beliau ke toko busana muslim. Saya belikan jilbab sedada. Saya carikan bahan yang jatuhnya bagus dan adem. Alhamdulillah, mama saya berkenan. Beliau kemudian mulai terbiasa dengan jilbab sedada.
Mama saya pun paham bahwa berhijab artinya tidak sebatas menutup rambut dan membebat tubuh. Berhijab adalah menutup seluruh tubuh (kecuali muka dan telapak tangan) agar tidak nampak lekuk-lekuknya. Jadi ya memang harus longgar baju maupun jilbabnya.
Saya pun bahagia karena beliau juga mulai mencoba pakai jilbab seperut. "Enak nih kalau mau sholat. Gak usah bawa-bawa mukena", katanya. Yes, akhirnya beliau merasakan kenyamanan yang saya rasakan.
![]() |
Bersama Papa, Mama, dan Suami saya |
Dan ketika akhirnya saya kembali memakai jilbab seperut, tidak ada reaksi (kontra) apapun dari keluarga. Mereka biasa aja.
Senangnyaaa. Berarti mereka sudah menerima perubahan saya 😍
Kekuatan Doa
Pada akhirnya semua wanita di keluarga saya memakai hijab. Tidak serta merta sih. Pertama ibu saya. Lalu tahun berikutnya adik ipar saya. Dan akhirnya 2 tahun kemudian adik perempuan saya.
![]() |
Keponakan saya mulai dibiasakan pakai jilbab sejak kecil |
Semua ini tak lepas dari doa yang kami panjatkan setiap sholat. Doa yang ibarat tetesan air di atas batu. Hanya setitik. Tapi meski membutuhkan waktu yang lama, suatu hari pasti batunya bolong juga. Begitulah keyakinan saya.
Sungguh bersyukur karena Allah berkenan mengabulkan. Bahagia rasanya melihat ibu dan adik saya istiqomah berhijab.
![]() |
Saya dan keluarga besar |
Kata orang, meraih itu jauh lebih mudah daripada mempertahankan. Maka saat ini kami berdoa, terus berdoa, semoga kami bisa terus mempertahankan keimanan kami. Semoga Allah tidak mencabut hidayah yang sudah dikaruniakan-Nya. Dan semoga kami bisa mati dalam keadaan husnul khotimah. Amiin.
*Artikel ini diikut sertakan dalam lomba blog #journeytosyari yang diadakan oleh Ava Lable.
Kisahnya inspiratif banget mbak Martha. Semua memang butuh proses ya...
BalasHapusBetul mba, butuh proses. Terimakasih sudah mampir 🙏😊
HapusHehhe mirip juga dengan kisah saya
BalasHapusOw.iyakah?
HapusWah keren.. Dua Tahun itu cepet lo buat menuju syari. Aku pakai kerudung dari 2004 dan baru kenal hijab syari 10 tahun kemudian hihi.
BalasHapusDan semakin panjang memang semakin nyaman. Salah satunya kalau mau sholat cuzz aja nggak perlu bawa-bawa mukena.
Semoga istiqomah ya mbak.
Betul mba. Meski ada ribetnya juga sih...salah satunya musti ngatur duduk.hihihi. amiin..trimakasih doanya mba
HapusSubhanallah. Cepet ya Mbak prosesnya. Semoga terus istiqomah.
BalasHapusAmiin. Doa yg sama untuk mb ida
HapusKalau saya dulu mau pakai hijab malah ditentang mama, alhamdulillah sekarang mama malah berhijab, semoga kita semua istiqamah ya mbak
BalasHapusIya mba. Amiin
Hapus