QR Standar Untuk UMKM

QR Code

Sebagai seorang pecinta promo, aku sudah sangat familiar dengan yang namanya QR Code. Itu lho, barcode yang bentuknya kotak. Apalagi ketika melihat si kotak hitam ini di meja kasir, lalu di sebelahnya ada informasi tentang cashback. Wah, mataku langsung berbinar-binar.

Promo untuk pembayaran dengan QR



QR (Quick Response) Code adalah sebuah kode pembayaran dari Penyedia Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) berbasis QR. Cara menggunakannya cukup mudah, yaitu tinggal scan QR Code menggunakan aplikasi dompet digital di HP kita. Terkadang nominal bayarnya langsung muncul (display dinamis), namun ada juga yang nominal bayarnya harus kita input terlebih dahulu (display statis).

Memindai kode QR

Sebagai pengamanan, kita akan diminta memasukkan nomor PIN di setiap transaksi pembayaran. Udah, gitu aja. Mudah kan?

Faktor kemudahan, keamanan, dan kepraktisan inilah yang membuatku senang menggunakan QR Codes. Ditambah dengan adanya promo cashback, sempurna sudah kecintaanku pada Ovo, Gopay, Dana, Link Aja, dan kawan-kawannya. (Konon ada 20 jenis PJSP berbasis QR yang beroperasi di Indonesia)

Program cashback salah satu PJSP berbasis QR



Perkembangan QR Code

Awalnya aku hanya menemui kode QR ini di mall-mall, di minimarket, dan di resto-resto besar saja.

QR Codes yang tadinya berupa display dinamis (ditampilkan melalui struk yang dicetak mesin EDC atau ditampilkan pada layar monitor), sekarang sudah berkembang menjadi display statis (ditampilkan melalui stiker atau hasil cetak lain).

Display statis QR Code
Pembeli perlu input jumlah pembayaran

Display dinamis QR Code
Jumlah pembayaran langsung tertera

Tentu saja hal ini menjadi angin segar bagi pengusaha kecil yang tidak punya mesin EDC maupun layar monitor komputer. Contohnya seperti tukang bubur kacang hijau di dekat rumahku.

Aku sangat antusias melihat stiker QR Code Gopay yang tertempel di gerobaknya.

"Mas, ini bisa bayar pakai Gopay?" tanyaku, memastikan. Takut kalau stiker itu hanya pajangan semata.

"Bisa, Mbak. Tinggal scan aja," jawabnya.

"Ada cashbacknya gak?" tanyaku lagi.

"Ada, Mbak. Dua puluh persen, maksimal Rp 10.000," kata si mas, sambil tangannya sibuk menata bubur kacang hijau di dalam mangkok.

Benar saja. Begitu di scan, masukin nominal bayar (2 mangkok bubur Rp 14.000), masukin 6 digit kode PIN, selesai. Transaksi pembayaranku dinyatakan sukses, dan nominal cashback sebesar Rp 1.400 langsung masuk ke akun Gopayku. Gampang dan menguntungkan.



Setelah itu, aku semakin kerap mendapati stiker QR Code di tukang mie, penjual sate, warung makan, penjual pulsa, bahkan di tempat laundry. Sebagai pembeli, aku sangat senang dong. Bisa belanja tanpa repot buka dompet, cukup buka HP saja.

Dua buah stiker QR Code milik OVO dan Boost terpampang di gerobak tukang sate

Pun demikian, nyatanya tidak semua pedagang menyambut keberadaan QR Code dengan sukacita. Masih banyak yang menolak saat ditawari membubuhkan stiker ini di lapaknya.

Kenapa ya?


QR Code di Mata Pengusaha

"Pasang stiker QR ini bayar ya, Mbak?" tanyaku pada mbak Maya, temanku, pemilik warung makan. Ia menempelkan stiker QR Code OVO dan Gopay di warungnya.

"Gratis, kok," jawabnya.

"Ada biaya bulanan? Semacam biaya abodemen dari pemakaian stiker?" Aku semakin penasaran.

"Enggak ada."

"Biaya admin atau potongan tiap ada transaksi?"

"Enggak ada juga. Uang yang masuk ke rekeningku utuh. Tidak ada biaya apa pun."

"Lalu kenapa stiker ini tidak laris manis ya?" batinku heran. Aku yakin akan banyak pembeli yang terbantu dengan adanya QR Code ini. Toh si penjual tidak butuh piranti khusus, tidak kena biaya bulanan, dan tidak ada potongan di tiap transaksi. Jadi, apa alasannya masih enggan memasang stiker QR Code?

Maka aku mencoba bertanya pada salah seorang sales yang bertugas menawarkan stiker QR Code ke pedagang kecil. Jawabannya sederhana.

"Biasanya yang menolak kebanyakan karena usia sudah tua. Soalnya mereka malas ribet ambil uang di bank. Lalu ada juga pemilik outlet yang masih suka cara konvensional yaitu maunya cash aja," jelasnya.

Memang iya sih.
Virtual money dari pembeli akan langsung masuk ke rekening pengusaha dan baru bisa ditarik pada keesokan harinya. Sehingga pengusaha perlu ke ATM atau ke teller bank terlebih dahulu untuk mengambil uangnya.

Meski terkesan ribet, tapi bagi sebagian pengusaha, hal ini malah menjadi keuntungan tersendiri. Bagi mereka tidak mengapa uang mengendap dulu di rekening, sehingga karyawan tidak terlalu banyak memegang uang tunai.


Usaha Lancar Pakai QR Standar!

Pengusaha yang sudah menggunakan QR Code pada umumnya memberikan respon positif. Mereka senang bisa memudahkan pelanggannya. Selain itu mereka juga tidak lagi repot mencari uang kembalian.

Bahkan bagi mbak Tutik, owner laundri, pembayaran menggunakan QR Code memudahkan dia untuk membuat pembukuan. Kalau lupa dicatat, tinggal cek rekening. Begitu alasannya.



"Bagaimana dengan omset. Adakah perubahan signifikan setelah memasang stiker QR?" tanyaku.

"Tidak ada sih, Mbak. Mungkin karena di sini jarang ada cashback. Jadi order masuk masih tergolong normal. Tidak ada lonjakan berarti," jawab mbak Tutik.

Aku jadi ingat percakapanku dengan seorang manajer supermarket. Menurutnya, pemakaian QR Code membuat omset supermarketnya meningkat.

"Bukan QR Code-nya, tapi lebih kepada nilai cashback dari pembayaran menggunakan QR Code. Pembelian meningkat saat ada program cashback 30%. Dan semakin melonjak jumlahnya ketika muncul program cashback 50%," jelasnya.


QRIS

Aku kembali bertanya pada mbak Tutik.

"Mbak, kalau OVO punya stiker sendiri, Gopay punya stiker sendiri, Link Aja punya stiker sendiri, dan seterusnya, nanti kacanya bisa penuh stiker dong."

"Iya gak apa-apa. Malah bagus, jadi warna-warni," jawab mbak Tutik setengah becanda.

"Mbak pernah dengar soal QRIS?"

"Apa itu?"

"Quick Response Indonesia Standart."

"Belum tuh."

"QRIS atau biasa disebut QR Standar adalah satu kode QR yang bisa dipakai untuk semua Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) berbasis QR Code. Semacam kode bersama. Jadi tidak perlu ada banyak stiker, Mbak. Cukup pasang satu saja sudah bisa dipakai untuk pembayaran menggunakan Gopay, OVO, Link Aja, Cashbac, dan lain-lain."

"Wah. Bagus itu," kata mbak Tutik antusias.

QRIS

Sayangnya antusiasme mbak Tutik langsung sirna saat kukatakan bahwa QRIS ini ada biayanya, yaitu sebesar 0,7% di setiap transaksi yang dilakukan oleh pembeli.

"Jadi pembelinya kena tambahan biaya 0,7%?" tanya mbak Tutik.

"Bukan pembelinya, tapi si penjual. Di sini mbak Tutik yang kena biaya. Misal ongkos laundri Rp 20.000. Pelanggan laundri membayar sebesar Rp 20.000. Tapi uang yang masuk ke rekening mbak Tutik adalah Rp 19.860. Dipotong sebesar Rp 140 (0,7% dari Rp 20.000)."

Mendengar ini mbak Tutik semakin apatis.

"Kalau ada potongan, aku pilih gak pakai, Mbak."

"Kenapa? Kan potongannya kecil sekali?" tanyaku.

"Soalnya nanti antara pembukuan dan uang di rekening berbeda," jelasnya.

Keberatan soal biaya transaksi juga diungkapkan oleh Nita, pemilik konter pulsa.

"Laba jualan pulsa itu cuma sedikit, Mbak. Paling 3%. Dipotong pajak UMKM 1%. Kalau kena biaya 0,7% terus aku dapat apa?" keluhnya.

Ia yang tengah menunggu pemasangan stiker Link Aja di konternya jadi berpikir ulang.

"Aku taunya gratis. Tapi kalau benar Januari 2020 nanti berbayar, sepertinya aku bakal kembali ke metode konvensional aja," tegasnya.


QRIS; Murah dan Memajukan UMKM

Ada tujuan besar di balik regulasi Bank Indonesia (BI) terkait QRIS, yaitu agar BI bisa memonitor transaksi non tunai dengan lebih baik demi mencegah terjadinya money laundry.

Selain itu, QRIS juga dapat memudahkan turis asing untuk bertransaksi di Indonesia mengingat kode QRIS disusun dengan standart internasional. Diharapkan hal ini dapat meningkatkan sektor pariwisata kita.

Dengan QRIS, Bank Indonesia berharap transaksi pembayaran bisa lebih efisien atau murah, UMKM bisa lebih maju, dan pada akhirnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Efisien dan murah dalam hal ini mengacu pada biaya administrasi pemakaian mesin EDC. Menurut BI angka 0,7 % sudah sangat murah jika dibandingkan dengan biaya pemakaian mesin EDC sebesar 3-5 %.

Tapi kan pengusaha kecil tidak memakai EDC. Mereka sudah familiar dan nyaman dengan stiker QR yang tidak berbiaya. Jika sebelumnya gratis, lalu sekarang bayar, alih-alih memajukan, penggunaan QRIS bukannya malah membebani UMKM?

Kalau demikian adanya, bagaimana dengan harapan agar UMKM bisa lebih maju?

Digratisin aja, masih banyak pedagang yang enggan menggunakan stiker QR. Apalagi kalau berbayar?

Pencanangan QRIS merupakan terobosan yang bagus. Tapi kurasa BI harus mempertimbangkan kembali soal penerapan biaya apabila sungguh-sungguh ingin memajukan UMKM.▪▪▪▪▪

#UsahaLancarPakaiQRStandar

Komentar

  1. Kalau aku biasanya pakai kode QR untuk belanja di minimarket dan supermarket. Tapi lebih sering pakai kode QR untuk bayar tiket naik bus trans Semarang.

    BalasHapus

Posting Komentar