Dian sangat gelisah. Berkali-kali ia mengusap perutnya yang terasa sakit. Setelah 15 menit mondar-mandir bak setrikaan, akhirnya ia menghempaskan diri ke kasur. Matanya tak lepas dari pintu kamar yang tertutup rapat.
Tidak ada waktu lagi. Aku harus bilang Mama.
“Hhhh!” Setelah menghela nafas, Dian beranjak dari ranjang, membuka pintu kamarnya dan melangkah mantap menuju kamar Mama.
Perutnya semakin terasa mulas. Tapi tidak ia hiraukan. Memang seperti itu jika ia tengah gugup.
“Ah!! Not again ... ,” ujarnya kesal. Kejadian yang sama terulang lagi. Semakin mendekat ke kamar Mama, semakin terasa lemas kakinya. Dian sampai harus memegang tembok, takut jika terjatuh.
Tiba-tiba pintu kamar Mama terbuka. Dian terlonjak kaget.
“Loh, Candra. Ngapain kamu di kamar Mama?” Dian heran melihat adik semata wayangnya muncul.
“Ngadem. AC kamarku kan rusak,” sahut Candra sambil berlalu.
“Eh. Eh. Mama di dalam?” tanya Dian sambil memegang lengan Candra.
“Enggak. Mama ke tempat Budhe Arsin.”
“Kapan?”
“Udah dari dua jam yang lalu.”
“Sama Papa?”
“Sendiri. Papa ada di kamar tuh.”
“Oh.” Dian melepas lengan Candra.
Apa ngomong sama Papa aja ya?
Ah. Tidak. Tidak. Sama Mama aja.
Besok. Ya. Apapun yang terjadi, besok harus ngomong. Sudah tidak ada waktu lagi!
******
“Kamu kenapa, Yan? Stres ya?” Indah menghampiri Dian yang tengah melamun.
“Apaan sih,” jawab Dian pura-pura manyun.
“Hemm ... calon pengantin memang biasa kayak kamu ini, stres jelang pernikahan.”
Dian memilih tidak menanggapi Indah dan kembali fokus pada laptopnya.
“Beneran lho, Yan. Mukamu itu pucat. Kamu sakit?” tanya Indah dengan nada khawatir.
Mau tidak mau Dian kembali menghadap ke arah Indah. Ia tidak ingin sahabatnya itu cemas.
“Enggak kok, Ndah. Beneran deh. Aku gak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum.
“Yan ... “ Indah mendekat ke arah Dian dan berbisik, “ ... apa gara-gara Tegar?” Indah berkata lirih seraya menyebut nama calon suami Dian.
“Emang Tegar kenapa?” Dian bertanya dengan bingung.
Yang ditanya jadi gelagapan. Salah tingkah.
“Eh. Anu ... Ya, aku cuma tanya kok,” jawab Indah kikuk.
Dian menyipitkan matanya, memandang tajam ke arah Indah, meminta penjelasan.
“Aduuh ... itu lho. Kan kalau dekat-dekat hari pernikahan suka ada apaaa gitu. Yang lakiknya ketahuan selingkuh, atau ternyata punya istri, atau ketemu mantan. Gitu-gituu,” jelas Indah dengan takut-takut.
Hampir saja Dian tertawa terbahak-bahak jika tidak ingat mereka tengah berada di kantor. Setengah mati ia menutup mulut menahan geli. Indah ini aneh-aneh saja.
“Kebanyakan baca novel kamu!” ucap Dian disela-sela tawanya.
Indah merengut melihat Dian menertawakannya. Tapi hanya sekejap, tak lama kemudian raut wajahnya berubah lega. "Dian tertawa, jadi dugaanku keliru," batinnya.
“Semoga pernikahanmu lancar ya. Kalau ada masalah, cerita sama aku. InsyaAllah aku bantu,” kata Indah sungguh-sungguh.
“Iya. Makasi ya,” jawab Dian tak kalah sungguh-sungguh.
Andai aku bisa curhat ke kamu, Ndah.
Ya Allah. Beri hamba kekuatan dan keberanian. Malam ini hamba harus ngomong sama Mama.
******
“Assalamualaikum.” Dian selalu mengucap salam keras-keras ketika memasuki rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Mama. Hanya terdengar suaranya, tidak tampak sosok Mama.
Dian celingukan. Ia akhirnya menemukan Mama di dapur.
“Kamu udah makan belum?” Mama tengah menyendok nasi.
“Udah, Ma.” Dian menarik sebuah kursi. Ia kemudian duduk dan mencomot perkedel.
“Candra kemana, Ma?” Kamar Candra sepi. Pertanda tidak ada penghuninya.
“Ada tugas katanya. Malam ini dia nginap di rumah Rano.”
“Papa?” Biasanya jam segini Papa nonton TV di ruang tengah. Tapi tadi tak ada seorang pun di sana.
“Papa jam setengah tujuh tadi dijemput om Tono. Katanya mau ketemuan sama siapa gitu,” jawab Mama sambil menciduk kuah soto.
“Hah? Jadi di rumah cuma ada aku dan Mama?! Ya Allah. Beruntung sekali.” Dian bersorak dalam hati. Teringat sedari siang ia pusing memikirkan cara agar bisa bicara empat mata dengan Mama.
“Aku ganti baju dulu ya, Ma.” Tanpa menunggu jawaban, Dian bangkit dari kursi menuju kamarnya.
Biar Mama selesai makan dulu, setelah itu baru diajak bicara. Semoga Papa tidak buru-buru pulang.
Tiga puluh menit kemudian, Dian dan Mama sudah duduk di sofa ruang tengah. Layar TV sedang menayangkan program berita. Dian menatap layar TV, tapi pikirannya mengembara. Ia memikirkan bagaimana cara membuka percakapan sembari mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang.
“Ma ... ”
“Hmm,” jawab Mama. Mama tampak asyik mendengarkan penjelasan pembawa acara.
“Mama tau tidak ... kalau anak yang lahir di luar nikah itu bernasab pada ibunya,” tanya Dian hati-hati.
“He-em,” jawab Mama. Masih fokus dengan acara TV.
“Mama juga tau kalau anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan sejak tanggal pernikahan tidak boleh bernasab ke bapaknya?” Kali ini Dian lebih lancar bicara, meski jantungnya masih gemlodak.
“Maksudnya gimana?” Mama mulai mengalihkan pandangan dari televisi.
“Gini, Ma. Aku kan bulan Maret besok menikah. Jika aku hamil dan anakku lahir di bulan Juni, berarti bayiku lahir setelah 3 bulan dari tanggal pernikahanku. Artinya kurang dari 6 bulan sejak tanggal pernikahan kan,” jelas Dian.
“Terus?” Mama menatap penuh selidik ke arah Dian. Hal ini membuat nyali Dian sedikit ciut.
Udaah. Lanjutin. Ini moment bagus. Bismillah. Terusin aja.
“Mmm ... berarti anak tersebut tidak dianggap sebagai keturunan bapaknya. Artinya si anak tidak berhak atas harta warisan dari bapaknya.”
Mama mulai mengubah letak duduknya, sedikit condong ke arah Dian. Mencoba menelisik kemana arah pembicaraan putrinya.
“Itu kalau bayinya laki-laki, Ma. Jika bayinya perempuan --“ Dian menggantung kalimatnya. Ditatap sedemikian oleh Mama membuatnya ragu melanjutkan.
Kamu bisa. Kamu pasti bisa. Ini demi kebaikan bersama.
“—maka tidak hanya keluar dari daftar ahli waris. Tapi juga ketika kelak ia menikah, harus menggunakan wali hakim sebagai walinya. Tidak boleh bapak kandungnya yang menjadi wali nikah.”
Pfiuh. Sampai disini rasanya sudah lebih plong perasaan Dian. Bebannya sudah hilang separuh.
Mama diam sambil menatap Dian. Hening selama sekian menit. Dian kikuk. Sedangkan Mama sepertinya sedang menimbang-nimbang tanggapannya terhadap penjelasan Dian.
“Ma.” Akhirnya Dian buka suara. “Aku sudah menghitung tanggal pernikahan Mama dan tanggal lahirku.”
Mama masih diam.
“Aku lahir di bulan kelima –“
“Kamu prematur!” potong Mama.
“Eh.”
“Kamu lahir prematur. Belum cukup bulan sudah lahir,” lanjut Mama.
“Prematur bagaimana? Masa iya hanya lima bulan –“
“Bukan seperti itu cara dokter menghitung!” Lagi-lagi Mama memotong kata-kata Dian.
“Aku sudah tanya dokter, Ma,” balas Dian.
“Apa sih maumu? Kenapa kamu ngotot terus!” Mama tampak emosi.
Mata Dian sudah berkaca-kaca. Mama berdiri, bermaksud meninggalkan Dian. Tapi Dian bergerak cepat memegang tangan Mama. Ia berlutut di hadapan Mamanya.
“Ma. Aku mohon. Tolong Mama jujur.” Air mata Dian tak terbendung. “Pertanyaanku mungkin melukai Mama. Tapi aku butuh kebenaran, Ma!”
Mama melengos, beliau enggan menatap wajah putrinya.
“Jika ... jika benar aku anak di luar nikah, maka Papa tidak boleh jadi waliku, Ma. Pernikahanku nanti tidak sah.”
Mama bergeming.
“Kalau pernikahanku tidak sah, nanti anakku ... anakku statusnya anak hasil perzinahan, Ma.” Tangis Dian pecah.
Mama masih bergeming. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun bulir bening tampak di sudut matanya.
Lima menit terasa bagaikan lima abad. Dian yang menyadari bahwa Mama tidak akan menanggapinya, perlahan melepaskan genggamannya pada tangan Mama.
“Baiklah, Ma. Mungkin Mama tidak ingin punya cucu,” ujar Dian lirih.
“Apa maksudmu?!”
“Aku tidak punya alasan untuk membatalkan pernikahanku dengan Tegar. Tapi aku akan steril supaya aku tidak punya anak.”
“Dian!!”
“Gimana aku bisa punya anak kalau aku tidak yakin dengan status pernikahanku, Ma?! Aku gak mau anakku jadi anak haram. Masih mending kalau anakku laki-laki. Kalau perempuan? Ia akan bernasib sama sepertiku!” ujar Dian setengah berteriak. Ia frustasi.
Semua bukti sudah mengarah pada kenyataan bahwa ia sudah ada di rahim Mama sebelum kedua orang tuanya itu melangsungkan pernikahan. Tapi Mama selalu berkata bahwa Dian lahir prematur. Usia 7 bulan sudah lahir, begitu alasan Mama. Fotonya saat masih bayi jelas jauh dari kondisi bayi prematur.
Dian paham. Mamanya mungkin malu dan berniat mengubur dalam-dalam aib tersebut. Namun karena efeknya berantai, Dian terpaksa mendesak Mama.
Raut wajah Mama memerah. Beliau tengah menahan marah. Mama melangkah kasar meninggalkan Dian yang tengah tersedu-sedu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar ditutup dengan keras.
******
Sudah hampir seminggu Mama dan Dian tidak bertegur sapa. Keduanya seolah saling menghindar.
“Dian. Sini!” panggil Papa.
Dian melangkah malas ke ruang tengah. Mama dan Papa sedang duduk di sofa, menonton berita.
Duh. Jangan-jangan Papa mau marahin aku karena sudah lancang sama Mama.
“Duduk sini.” Papa bergeser ke arah Mama, lalu menepuk dudukan sofa yang ditinggalkannya.
“Tuh. Lihat. Presiden sedang mengumumkan kasus Corona. Ada orang Depok yang positif,” kata Papa sambil menunjuk layar TV.
Dian terkejut. Ia beringsut duduk di sebelah Papa, kemudian menyimak isi berita. Pernikahannya akan digelar 3 minggu lagi. Mungkinkah pengumuman ini akan mempengaruhi acaranya? Apakah Jakarta akan lockdown seperti Wuhan?
Sejak itu baik Dian, Mama, Papa maupun Candra rutin mengikuti perkembangan virus covid-19. Dian semakin panik karena penularan virus ini cepat sekali. Kantornya sudah menerapkan Work From Home (WFH). Ia pun kerap diskusi dengan Tegar mengenai rencana pernikahan mereka. Beberapa artis memilih menunda pernikahannya. Apakah mereka juga harus menunda?
Dua belas hari lagi jelang pernikahan. Undangan sudah jadi, tinggal dibagikan. Mbak Laras dari Laras WO juga mulai mendesak kepastian. “Jika sudah semakin dekat hari H, akan sulit untuk membatalkan ataupun menunda, Mbak,” jelas mbak Laras.
Ah. Dian galau sekali. Hal ini kerap membuatnya mengurung diri di kamar.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamar Dian diketuk. Gagang pintu bergerak, lalu tampak sosok Mama.
Bola mata Dian mengikuti langkah Mama yang masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan kemudian duduk di kasur.
“Mama sudah memikirkan ucapanmu.”
Dian diam saja.
“Mama minta maaf. Berat sekali bagi Mama. Sungguh.” Mama mulai menunduk.
Dian kasihan melihat Mama. Ia pindah dari kursi belajarnya lalu duduk di sebelah Mama dan memeluknya dari samping.
Mama terisak.
“Maafin Mama, Sayang. Dulu Mama sudah melakukan kesalahan,” kata Mama sambil tergugu. Berkali-kali Mama mengucapkan kata maaf, berkali-kali pula hati Dian terasa tersayat. Air matanya tak henti mengalir. Ia teramat sedih. Bukan sedih karena mengetahui statusnya, tapi lebih karena ia telah memaksa wanita yang melahirkannya untuk membuka aib.
Ya Allah. Ampuni Mamaku ya Allah. Ampuni Papaku. Ampuni aku.
Ibu dan anak ini terus berpelukan sambil menangis. Larut dalam penyesalan masing-masing.
“Semoga Dian paham dan memaafkan Mama. Mama akan sangat malu jika orang-orang tau soal kenapa Papa tidak jadi wali nikah Dian. Ide wali hakim itu benar-benar membuat Mama hilang akal.” Mama membuat pengakuan.
“Tidak apa, Ma. Dian siap. Lebih baik malu dihadapan manusia daripada malu saat kelak menghadap Allah,” ujar Dian yakin.
Mama hanya tersenyum. Terlihat jelas bahwa Mama masih berat menerima ketentuan tersebut. Tapi Mama juga sedih membayangkan efeknya pada Dian. Kelak jika Dian berhubungan badan dengan suaminya, alih-alih dapat pahala malah dihitung zina. Astagfirullahaladzim. Mama bergidik.
******
Dengan kondisi wabah Corona yang semakin meluas, serta himbauan dari pemerintah agar menghindari acara dengan banyak orang, Dian dan Tegar memutuskan untuk tetap melaksanakan akad nikah namun membatalkan resepsi. Akad nikah yang sedianya dihadiri 100 orang pun dipangkas menjadi 30 orang. Meski harus memakai masker, acara berlangsung khidmat.
“Pak Hakim, saya Dian Agustina memohon agar pak Hakim berkenan menjadi wali nikah bagi saya,” ujar Dina kepada wali hakim yang duduk di seberangnya.
“Baik, mbak Dian Agustina,” jawab petugas dari KUA yang bertindak sebagai wali hakim.
Beberapa pasang mata terlihat terkejut dengan kejadian ini. Jarang sekali mereka mendapati calon mempelai putri meminta langsung pada wali hakim.
“Bukannya bapaknya ya yang harusnya minta diwakili sama wali hakim?” Bisik-bisik terdengar.
Serasa remuk hati Mama mendengar bisik-bisik ini. Tak henti mulutnya istighfar, mohon ampunan. Mama menyadari bahwa ini adalah konsekuensi dari kesalahannya. Papa menggenggam tangan Mama, berusaha saling menguatkan.
“Untung tamunya sedikit. Keluarga inti pula,” batin Mama.
Mama semakin bersyukur demi melihat binar-binar bahagia di mata putri semata wayangnya. Mama merasa lega sudah melakukan hal yang benar.
“Sah?” tanya pak penghulu.
“SAH! SAH!” Suara tamu undangan bersahutan.
“Barakallahulaka wa baroka alaika wa jama’a bainakuma fi khoir ...”
Mempelai dan semua yang hadir mengangkat tangan. Berdoa bersama untuk keberkahan rumah tangga pengantin. Tak ketinggalan pula doa agar pandemi ini segera berakhir.
TAMAT
#cerpenMartha
Tidak ada waktu lagi. Aku harus bilang Mama.
“Hhhh!” Setelah menghela nafas, Dian beranjak dari ranjang, membuka pintu kamarnya dan melangkah mantap menuju kamar Mama.
Perutnya semakin terasa mulas. Tapi tidak ia hiraukan. Memang seperti itu jika ia tengah gugup.
“Ah!! Not again ... ,” ujarnya kesal. Kejadian yang sama terulang lagi. Semakin mendekat ke kamar Mama, semakin terasa lemas kakinya. Dian sampai harus memegang tembok, takut jika terjatuh.
Tiba-tiba pintu kamar Mama terbuka. Dian terlonjak kaget.
“Loh, Candra. Ngapain kamu di kamar Mama?” Dian heran melihat adik semata wayangnya muncul.
“Ngadem. AC kamarku kan rusak,” sahut Candra sambil berlalu.
“Eh. Eh. Mama di dalam?” tanya Dian sambil memegang lengan Candra.
“Enggak. Mama ke tempat Budhe Arsin.”
“Kapan?”
“Udah dari dua jam yang lalu.”
“Sama Papa?”
“Sendiri. Papa ada di kamar tuh.”
“Oh.” Dian melepas lengan Candra.
Apa ngomong sama Papa aja ya?
Ah. Tidak. Tidak. Sama Mama aja.
Besok. Ya. Apapun yang terjadi, besok harus ngomong. Sudah tidak ada waktu lagi!
******
“Kamu kenapa, Yan? Stres ya?” Indah menghampiri Dian yang tengah melamun.
“Apaan sih,” jawab Dian pura-pura manyun.
“Hemm ... calon pengantin memang biasa kayak kamu ini, stres jelang pernikahan.”
Dian memilih tidak menanggapi Indah dan kembali fokus pada laptopnya.
“Beneran lho, Yan. Mukamu itu pucat. Kamu sakit?” tanya Indah dengan nada khawatir.
Mau tidak mau Dian kembali menghadap ke arah Indah. Ia tidak ingin sahabatnya itu cemas.
“Enggak kok, Ndah. Beneran deh. Aku gak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum.
“Yan ... “ Indah mendekat ke arah Dian dan berbisik, “ ... apa gara-gara Tegar?” Indah berkata lirih seraya menyebut nama calon suami Dian.
“Emang Tegar kenapa?” Dian bertanya dengan bingung.
Yang ditanya jadi gelagapan. Salah tingkah.
“Eh. Anu ... Ya, aku cuma tanya kok,” jawab Indah kikuk.
Dian menyipitkan matanya, memandang tajam ke arah Indah, meminta penjelasan.
“Aduuh ... itu lho. Kan kalau dekat-dekat hari pernikahan suka ada apaaa gitu. Yang lakiknya ketahuan selingkuh, atau ternyata punya istri, atau ketemu mantan. Gitu-gituu,” jelas Indah dengan takut-takut.
Hampir saja Dian tertawa terbahak-bahak jika tidak ingat mereka tengah berada di kantor. Setengah mati ia menutup mulut menahan geli. Indah ini aneh-aneh saja.
“Kebanyakan baca novel kamu!” ucap Dian disela-sela tawanya.
Indah merengut melihat Dian menertawakannya. Tapi hanya sekejap, tak lama kemudian raut wajahnya berubah lega. "Dian tertawa, jadi dugaanku keliru," batinnya.
“Semoga pernikahanmu lancar ya. Kalau ada masalah, cerita sama aku. InsyaAllah aku bantu,” kata Indah sungguh-sungguh.
“Iya. Makasi ya,” jawab Dian tak kalah sungguh-sungguh.
Andai aku bisa curhat ke kamu, Ndah.
Ya Allah. Beri hamba kekuatan dan keberanian. Malam ini hamba harus ngomong sama Mama.
******
“Assalamualaikum.” Dian selalu mengucap salam keras-keras ketika memasuki rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Mama. Hanya terdengar suaranya, tidak tampak sosok Mama.
Dian celingukan. Ia akhirnya menemukan Mama di dapur.
“Kamu udah makan belum?” Mama tengah menyendok nasi.
“Udah, Ma.” Dian menarik sebuah kursi. Ia kemudian duduk dan mencomot perkedel.
“Candra kemana, Ma?” Kamar Candra sepi. Pertanda tidak ada penghuninya.
“Ada tugas katanya. Malam ini dia nginap di rumah Rano.”
“Papa?” Biasanya jam segini Papa nonton TV di ruang tengah. Tapi tadi tak ada seorang pun di sana.
“Papa jam setengah tujuh tadi dijemput om Tono. Katanya mau ketemuan sama siapa gitu,” jawab Mama sambil menciduk kuah soto.
“Hah? Jadi di rumah cuma ada aku dan Mama?! Ya Allah. Beruntung sekali.” Dian bersorak dalam hati. Teringat sedari siang ia pusing memikirkan cara agar bisa bicara empat mata dengan Mama.
“Aku ganti baju dulu ya, Ma.” Tanpa menunggu jawaban, Dian bangkit dari kursi menuju kamarnya.
Biar Mama selesai makan dulu, setelah itu baru diajak bicara. Semoga Papa tidak buru-buru pulang.
Tiga puluh menit kemudian, Dian dan Mama sudah duduk di sofa ruang tengah. Layar TV sedang menayangkan program berita. Dian menatap layar TV, tapi pikirannya mengembara. Ia memikirkan bagaimana cara membuka percakapan sembari mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang.
“Ma ... ”
“Hmm,” jawab Mama. Mama tampak asyik mendengarkan penjelasan pembawa acara.
“Mama tau tidak ... kalau anak yang lahir di luar nikah itu bernasab pada ibunya,” tanya Dian hati-hati.
“He-em,” jawab Mama. Masih fokus dengan acara TV.
“Mama juga tau kalau anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan sejak tanggal pernikahan tidak boleh bernasab ke bapaknya?” Kali ini Dian lebih lancar bicara, meski jantungnya masih gemlodak.
“Maksudnya gimana?” Mama mulai mengalihkan pandangan dari televisi.
“Gini, Ma. Aku kan bulan Maret besok menikah. Jika aku hamil dan anakku lahir di bulan Juni, berarti bayiku lahir setelah 3 bulan dari tanggal pernikahanku. Artinya kurang dari 6 bulan sejak tanggal pernikahan kan,” jelas Dian.
“Terus?” Mama menatap penuh selidik ke arah Dian. Hal ini membuat nyali Dian sedikit ciut.
Udaah. Lanjutin. Ini moment bagus. Bismillah. Terusin aja.
“Mmm ... berarti anak tersebut tidak dianggap sebagai keturunan bapaknya. Artinya si anak tidak berhak atas harta warisan dari bapaknya.”
Mama mulai mengubah letak duduknya, sedikit condong ke arah Dian. Mencoba menelisik kemana arah pembicaraan putrinya.
“Itu kalau bayinya laki-laki, Ma. Jika bayinya perempuan --“ Dian menggantung kalimatnya. Ditatap sedemikian oleh Mama membuatnya ragu melanjutkan.
Kamu bisa. Kamu pasti bisa. Ini demi kebaikan bersama.
“—maka tidak hanya keluar dari daftar ahli waris. Tapi juga ketika kelak ia menikah, harus menggunakan wali hakim sebagai walinya. Tidak boleh bapak kandungnya yang menjadi wali nikah.”
Pfiuh. Sampai disini rasanya sudah lebih plong perasaan Dian. Bebannya sudah hilang separuh.
Mama diam sambil menatap Dian. Hening selama sekian menit. Dian kikuk. Sedangkan Mama sepertinya sedang menimbang-nimbang tanggapannya terhadap penjelasan Dian.
“Ma.” Akhirnya Dian buka suara. “Aku sudah menghitung tanggal pernikahan Mama dan tanggal lahirku.”
Mama masih diam.
“Aku lahir di bulan kelima –“
“Kamu prematur!” potong Mama.
“Eh.”
“Kamu lahir prematur. Belum cukup bulan sudah lahir,” lanjut Mama.
“Prematur bagaimana? Masa iya hanya lima bulan –“
“Bukan seperti itu cara dokter menghitung!” Lagi-lagi Mama memotong kata-kata Dian.
“Aku sudah tanya dokter, Ma,” balas Dian.
“Apa sih maumu? Kenapa kamu ngotot terus!” Mama tampak emosi.
Mata Dian sudah berkaca-kaca. Mama berdiri, bermaksud meninggalkan Dian. Tapi Dian bergerak cepat memegang tangan Mama. Ia berlutut di hadapan Mamanya.
“Ma. Aku mohon. Tolong Mama jujur.” Air mata Dian tak terbendung. “Pertanyaanku mungkin melukai Mama. Tapi aku butuh kebenaran, Ma!”
Mama melengos, beliau enggan menatap wajah putrinya.
“Jika ... jika benar aku anak di luar nikah, maka Papa tidak boleh jadi waliku, Ma. Pernikahanku nanti tidak sah.”
Mama bergeming.
“Kalau pernikahanku tidak sah, nanti anakku ... anakku statusnya anak hasil perzinahan, Ma.” Tangis Dian pecah.
Mama masih bergeming. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun bulir bening tampak di sudut matanya.
Lima menit terasa bagaikan lima abad. Dian yang menyadari bahwa Mama tidak akan menanggapinya, perlahan melepaskan genggamannya pada tangan Mama.
“Baiklah, Ma. Mungkin Mama tidak ingin punya cucu,” ujar Dian lirih.
“Apa maksudmu?!”
“Aku tidak punya alasan untuk membatalkan pernikahanku dengan Tegar. Tapi aku akan steril supaya aku tidak punya anak.”
“Dian!!”
“Gimana aku bisa punya anak kalau aku tidak yakin dengan status pernikahanku, Ma?! Aku gak mau anakku jadi anak haram. Masih mending kalau anakku laki-laki. Kalau perempuan? Ia akan bernasib sama sepertiku!” ujar Dian setengah berteriak. Ia frustasi.
Semua bukti sudah mengarah pada kenyataan bahwa ia sudah ada di rahim Mama sebelum kedua orang tuanya itu melangsungkan pernikahan. Tapi Mama selalu berkata bahwa Dian lahir prematur. Usia 7 bulan sudah lahir, begitu alasan Mama. Fotonya saat masih bayi jelas jauh dari kondisi bayi prematur.
Dian paham. Mamanya mungkin malu dan berniat mengubur dalam-dalam aib tersebut. Namun karena efeknya berantai, Dian terpaksa mendesak Mama.
Raut wajah Mama memerah. Beliau tengah menahan marah. Mama melangkah kasar meninggalkan Dian yang tengah tersedu-sedu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar ditutup dengan keras.
******
Sudah hampir seminggu Mama dan Dian tidak bertegur sapa. Keduanya seolah saling menghindar.
“Dian. Sini!” panggil Papa.
Dian melangkah malas ke ruang tengah. Mama dan Papa sedang duduk di sofa, menonton berita.
Duh. Jangan-jangan Papa mau marahin aku karena sudah lancang sama Mama.
“Duduk sini.” Papa bergeser ke arah Mama, lalu menepuk dudukan sofa yang ditinggalkannya.
“Tuh. Lihat. Presiden sedang mengumumkan kasus Corona. Ada orang Depok yang positif,” kata Papa sambil menunjuk layar TV.
Dian terkejut. Ia beringsut duduk di sebelah Papa, kemudian menyimak isi berita. Pernikahannya akan digelar 3 minggu lagi. Mungkinkah pengumuman ini akan mempengaruhi acaranya? Apakah Jakarta akan lockdown seperti Wuhan?
Sejak itu baik Dian, Mama, Papa maupun Candra rutin mengikuti perkembangan virus covid-19. Dian semakin panik karena penularan virus ini cepat sekali. Kantornya sudah menerapkan Work From Home (WFH). Ia pun kerap diskusi dengan Tegar mengenai rencana pernikahan mereka. Beberapa artis memilih menunda pernikahannya. Apakah mereka juga harus menunda?
Dua belas hari lagi jelang pernikahan. Undangan sudah jadi, tinggal dibagikan. Mbak Laras dari Laras WO juga mulai mendesak kepastian. “Jika sudah semakin dekat hari H, akan sulit untuk membatalkan ataupun menunda, Mbak,” jelas mbak Laras.
Ah. Dian galau sekali. Hal ini kerap membuatnya mengurung diri di kamar.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamar Dian diketuk. Gagang pintu bergerak, lalu tampak sosok Mama.
Bola mata Dian mengikuti langkah Mama yang masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan kemudian duduk di kasur.
“Mama sudah memikirkan ucapanmu.”
Dian diam saja.
“Mama minta maaf. Berat sekali bagi Mama. Sungguh.” Mama mulai menunduk.
Dian kasihan melihat Mama. Ia pindah dari kursi belajarnya lalu duduk di sebelah Mama dan memeluknya dari samping.
Mama terisak.
“Maafin Mama, Sayang. Dulu Mama sudah melakukan kesalahan,” kata Mama sambil tergugu. Berkali-kali Mama mengucapkan kata maaf, berkali-kali pula hati Dian terasa tersayat. Air matanya tak henti mengalir. Ia teramat sedih. Bukan sedih karena mengetahui statusnya, tapi lebih karena ia telah memaksa wanita yang melahirkannya untuk membuka aib.
Ya Allah. Ampuni Mamaku ya Allah. Ampuni Papaku. Ampuni aku.
Ibu dan anak ini terus berpelukan sambil menangis. Larut dalam penyesalan masing-masing.
“Semoga Dian paham dan memaafkan Mama. Mama akan sangat malu jika orang-orang tau soal kenapa Papa tidak jadi wali nikah Dian. Ide wali hakim itu benar-benar membuat Mama hilang akal.” Mama membuat pengakuan.
“Tidak apa, Ma. Dian siap. Lebih baik malu dihadapan manusia daripada malu saat kelak menghadap Allah,” ujar Dian yakin.
Mama hanya tersenyum. Terlihat jelas bahwa Mama masih berat menerima ketentuan tersebut. Tapi Mama juga sedih membayangkan efeknya pada Dian. Kelak jika Dian berhubungan badan dengan suaminya, alih-alih dapat pahala malah dihitung zina. Astagfirullahaladzim. Mama bergidik.
******
Dengan kondisi wabah Corona yang semakin meluas, serta himbauan dari pemerintah agar menghindari acara dengan banyak orang, Dian dan Tegar memutuskan untuk tetap melaksanakan akad nikah namun membatalkan resepsi. Akad nikah yang sedianya dihadiri 100 orang pun dipangkas menjadi 30 orang. Meski harus memakai masker, acara berlangsung khidmat.
“Pak Hakim, saya Dian Agustina memohon agar pak Hakim berkenan menjadi wali nikah bagi saya,” ujar Dina kepada wali hakim yang duduk di seberangnya.
“Baik, mbak Dian Agustina,” jawab petugas dari KUA yang bertindak sebagai wali hakim.
Beberapa pasang mata terlihat terkejut dengan kejadian ini. Jarang sekali mereka mendapati calon mempelai putri meminta langsung pada wali hakim.
“Bukannya bapaknya ya yang harusnya minta diwakili sama wali hakim?” Bisik-bisik terdengar.
Serasa remuk hati Mama mendengar bisik-bisik ini. Tak henti mulutnya istighfar, mohon ampunan. Mama menyadari bahwa ini adalah konsekuensi dari kesalahannya. Papa menggenggam tangan Mama, berusaha saling menguatkan.
“Untung tamunya sedikit. Keluarga inti pula,” batin Mama.
Mama semakin bersyukur demi melihat binar-binar bahagia di mata putri semata wayangnya. Mama merasa lega sudah melakukan hal yang benar.
“Sah?” tanya pak penghulu.
“SAH! SAH!” Suara tamu undangan bersahutan.
“Barakallahulaka wa baroka alaika wa jama’a bainakuma fi khoir ...”
Mempelai dan semua yang hadir mengangkat tangan. Berdoa bersama untuk keberkahan rumah tangga pengantin. Tak ketinggalan pula doa agar pandemi ini segera berakhir.
TAMAT
#cerpenMartha
Penting sekali pengetahuan ttg hal ini ya mba..agar satu kesalahan dan ketidaktahuan tidak berbuntut panjang.. Thx kisahnya mba..
BalasHapusIya mba. Panjang trnyata efeknya.
HapusBagus nih Martha. Jadi pengetahuan yang penting bagi mereka yang belum paham hukum agama terkait nasab ini.
BalasHapusMakasi mbak Niek 😊 udah lama mau nulis ini. Byk yg gak tau soalnya
HapusCerpennya ada sarat ilmu mbak ,saya juga baru tahu tentang nasab seperti ini beberapa waktu yang lalu juga
BalasHapusSelalunbutuhnkejujuran ya. Apapun itu daripada malah berantai-rantai. Jujur lebih baik. Mantul mbak Martha...
BalasHapusTentang pengetahuan fiqih bagus kalo syiar dengan cara beda, ayo lanjutkan bikin novel
BalasHapusMasyaallah bagus mbak ceritanya sarat pengetahuan juga...lanjutkan!!
BalasHapusJadi ingat temanku baru tahu dia anak adopsi menjelang pernikahan
BalasHapus