"Huooo!!"
Mulutku otomatis menganga, mengagumi kemegahan yang terpampang di depan mata.
"Ini pesta ulang tahun, Ken?" tanyaku, yang dijawab Kenzo dengan anggukan kepala.
"Ckckckck." Pesta ulang tahun saja segini mewah.
Kupikir tadinya kami salah masuk ruangan. Bukannya aku tidak pernah datang ke pesta. Tapi ballroom berkapasitas 2000 orang, ditambah panggung sedemikian megah, dan kue tart setinggi 2 meter, bukankah berlebihan untuk sebuah pesta ulang tahun?
"Umur tujuh belas tahun dianggap sebagai usia penting. Makanya dirayakan besar-besaran," jelas Kenzo, seolah tau isi kepalaku.
Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Berbagai hidangan berderet di sepanjang dinding sebelah utara. Hal yang sama juga tampak di sepanjang dinding sebelah selatan. Panggung dengan hiasan nuansa ungu serta tulisan raksasa HAPPY BIRTHDAY CELLINE terhampar di sebelah timur. Ratusan kursi berjajar rapi di depan panggung. Ada beberapa meja bundar juga disana. Kata Kenzo, meja bundar itu diperuntukkan bagi anggota keluarga.
"Banyak juga ya teman sekelasnya?" celetukku heran. Ratusan remaja putra dan putri memenuhi ballroom. Ada yang mondar-mandir dari stall makanan satu ke stall makanan yang lain, ada yang berdiri sambil mengobrol di dekat panggung, ada juga yang duduk bergerombol.
"Ini bukan cuma sekelas, ... "
"Satu sekolah??" potongku.
"Tidak juga."
"Hah? Celline juga mengundang anak sekolah lain?"
"Mmm ... tidak begitu."
Aku memandang Kenzo dengan penuh kebingungan.
"Jadi gini. Ketika Celline menyebar undangan ulang tahun sweet seventeen kepada teman sekelas, maka dia harus sudah siap jika ada anak kelas lain yang turut hadir meski tidak diundang. Bahkan dia juga tidak akan menolak jika ada anak sekolah lain yang hadir di pestanya ini," jelas Kenzo.
"Anak sekolah lain juga datang?"
"Yup!"
"Meskipun tidak kenal?"
"Meskipun tidak kenal."
Oh. Pantas saja Kenzo tampak santai. Aku tadi sempat bingung dan takut diusir karena aku yakin kami adalah tamu tak diundang. Aku berani bertaruh, Celline tidak kenal dengan Kenzo.
Baiklah. Karena sekarang hatiku sudah lebih tenang, aku mulai memperhatikan panggung dengan lebih detail. Ada sekelompok pemain musik di ujung kiri. Lalu ada beberapa buah kursi di tengah, seperti kursi pelaminan, tapi lebih modern. Agak ke kanan ada kue tart tinggi menjulang dengan hiasan kupu-kupu di sekelilingnya. Sepertinya Celline suka sekali dengan kupu-kupu. Karena setelah kuperhatikan lagi, lampu laser yang dari tadi ditembakkan kesana kemari ternyata membentuk siluet kupu-kupu.
"Kenapa ada sepeda motor disana?" Aku menunjuk ujung kanan panggung. Dua sepeda motor matic terparkir tak jauh dari kue tart.
"Itu biasanya untuk doorprize," jawab Kenzo.
"Hey. Tidak usah melotot begitu." Kenzo tertawa sambil menepuk pundakku. "Tunggu sampai acaranya dimulai. Pesta crazy rich memang beda," lanjutnya.
"HALLO SEMUAAA!" Seorang pria muncul di panggung dan langsung menyedot perhatian semua orang.
"Itu Raffi Ahmad!!" terdengar pekikan tertahan dari seorang gadis.
"APA KABAR SEMUA? PIE KABARE?" tanya si pria.
"Apiiiik!" Riuh sekali jawaban dari para tamu.
Tanpa dikomando, yang tadinya pada berdiri di dekat stall makanan, sekarang berbondong-bondong memenuhi tempat duduk.
Pria di panggung terus menyapa para tamu. Tak lama kemudian, birthday girl-nya muncul.
Benar kata Kenzo. Ini pesta istimewa. Celline tidak muncul dengan sederhana. Ia memasuki ruang pesta diiringi puluhan dancer. Tentu saja ia ikut menari bersama para dancer ini. Keren sekali. Tepuk tangan meriah bergema seiring berakhirnya tarian Celline.
Lalu sang pembawa acara, siapa tadi, Raffi ya, memanggil kedua orang tua Celline dan pak pendeta ke atas panggung. Pak pendeta memimpin doa bersama. Setelah doa berakhir, pak pendeta menyalami Celline dan kedua orang tuanya, lalu beliau turun dari panggung.
Acara selanjutnya adalah menyanyikan lagu ulang tahun. Lagunya bukan lagu seperti yang biasa kudengar. Yang ini iramanya lebih meriah.
Hari ini
Hari yang kau tunggu
Bertambah satu tahun, usiamu, bahagialah kamu
Yang kuberi
Bukan jam dan cincin
Bukan seikat bunga, atau puisi, juga kalung hati
Seluruh ruangan ikut menyanyi. Kecuali aku. Aku cuma tepuk tangan saja.
Sementara kami sibuk menyanyi dan bertepuk tangan, Celline menghampiri kue ulang tahunnya. Ia mengambil pedang yang disiapkan oleh EO, dan mulai menggoreskan ujung pedangnya secara perlahan, dari puncak kue sampai ke bawah.
Celline kemudian menyuapkan potongan kue kepada Papa dan Mamanya. Rupanya pihak EO sudah menyiapkan irisan kue. Tentu saja, Celline bakal kesulitan jika harus diminta memotong-motong kue tart raksasanya saat itu juga. Iya kan?
Setelah menerima suapan kue dari Celline, Mama menyematkan kalung di leher putrinya itu. Kalungnya kecil tapi sangat berkilau. Lalu satu persatu keluarga Celline naik ke panggung. Sama seperti yang dilakukan Mama Celline, nenek dan tantenya juga menyematkan kalung di leher Celline. Leher jenjang Celline tampak penuh dengan tumpukan kalung emas.
"Habis ini Celline jalannya sambil nunduk nih," celetuk MC yang disambut dengan tawa hadirin.
"Apa kita tidak akan turun?" bisikku ke Kenzo. Aku mulai bosan menonton dari balkon seperti ini.
"Tenaang. Kita tunggu sampai bintang tamunya keluar, setelah itu baru kita turun. Aku juga sudah lapar," kata Kenzo sambil mengelus-elus perutnya.
Huh. Jadi Kenzo mau menonton artis dulu? Ah, sudahlah. Kuikuti saja maunya Kenzo. Toh di sini aku cuma diajak.
Lima belas menit kemudian, Celline dan seluruh keluarganya turun dari panggung. Lampu perlahan meredup. Suasana jadi gelap, tapi musik malah mengalun lebih kencang. Lampu sorot mengarah ke panggung, terfokus pada seorang pria berkulit sawo matang, rambut sedikit berantakan, dan perut agak membuncit yang muncul dari balik panggung.
"Kita sambut: Dodit Mulyanto!" seru MC.
Para hadirin bertepuk tangan dengan sangat meriah.
"Ayo. Sekarang saatnya kita makan!" ajak Kenzo antusias.
Rupanya Kenzo tidak hendak menonton show, tapi ia menunggu suasana lebih gelap dan perhatian tamu terpusat ke panggung.
"Hmm. Meskipun katanya sudah rahasia umum bahwa tamu tak diundang diperbolehkan ikut pesta, toh Kenzo tetap sungkan," batinku.
Dalam suasana remang-remang begini, tampilan makanan tidak se-menggiurkan saat lampu menyala terang benderang.
"Sini, Ta," panggil Kenzo.
Aku yang tadinya mau menuju stall lekker, akhirnya membuntuti Kenzo ke arah stall pizza.
Kami makan setenang mungkin. Kami berusaha keras agar bisa membaur dengan sekitar. Kami tidak ingin menarik perhatian.
Perutku cukup kenyang. Demikian juga Kenzo. Pizza, sosis bakar, lekker, zuppa sup, siomay, semua sukses kucicipi. Heran deh. Rasanya enak gini, tapi kenapa orang-orang ini kalau makan tidak dihabiskan ya?
"Pulang yuk," ajak Kenzo.
Aku meng-iya-kan. Sebetulnya aku penasaran dengan sepeda motor tadi, tapi aku tidak enak jika bersikeras tinggal.
Kami tengah berjalan menuju kamar mandi saat mataku menangkap sesuatu yang menarik: air terjun coklat. Coklat kental mengalir perlahan menciptakan pemandangan yang ... menggiurkan!
Air liurku menetes. Aku pingin.
Tanpa sadar kakiku melangkah ke choco fountain. Sudah tinggal beberapa jengkal dari lelehan coklat kental saat kudengar Kenzo berteriak memanggil namaku. Sepertinya dia baru ngeh kalau aku tidak ada di belakangnya.
Aku galau. Coklatnya sudah di depan mata. Tapi suara Kenzo terdengar marah. Aduh, bagaimana ini?
"KENTA!!" Kembali kudengar teriakan Kenzo. Dia melotot ke arahku. Kupikir dia akan datang menghampiri dan menyeretku, tapi ia bergeming. Tubuhnya tidak bergeser sedikit pun dari pintu kamar mandi.
Sudah kepalang tanggung. Mulutku sudah dekat sekali dengan coklat yang tampak lezat ini.
Slurp!
Oh God. Coklat ini nikmat sekali.
"KENTAAA!!!"
"Ya ampun. Kenzo gak sabaran banget sih," desisku. Aku bergegas meninggalkan meja coklat dan menyusul Kenzo. "Nanti akan kumarahi dia. Kenapa dia tidak memberitahuku ada makanan selezat ini. Matipun aku rela demi merasakan kenikmatan ini," omelku.
Tiba-tiba lampu berubah sedikit lebih terang. Rupanya akan ada pengundian doorprize tahap pertama. Bola kaca berisi potongan nama tamu yang hadir tampak diaduk-aduk oleh Celline.
"Aaaarggghh!!!!" Seorang gadis memekik saat melihatku. Ia tampak jijik. Demikian juga dengan kawannya yang langsung terlonjak.
"SIAL!" umpatku. Aku segera berlari ke arah Kenzo.
Wajah Kenzo yang awalnya tampak marah, sekarang berubah jadi khawatir.
"CEPAT! CEPAT!" ucapnya tanpa suara, sambil melambai dengan gusar.
Pria-pria di sekitar gadis tadi memandang sengit ke arahku. Mereka tampak sangat siap menyakitiku.
Aku takut. Aku sangat takut. Jantungku berdetak tak karuan. Kakiku berlari sangat kencang. Super kencang sehingga tidak menapak tanah.
Eh. Kakiku tidak menapak tanah?
Astaga. Aku terbang!
Kukepakkan sayapku lebih kuat. Aku harus segera sampai di kamar mandi. Sedikit lagi. Tampak olehku Kenzo yang terus memberi semangat.
PLAKKK!!!
Seiring suara keras itu, tubuhku limbung, pandanganku menjadi gelap. Aku terhempas ke lantai.
"Kentaaa .... !!" Suara Kenzo terdengar menyayat hati.
Samar-samar kulihat seorang pria mengangkat kakinya ke arahku.
"Mulut sialan. Enteng sekali bilang mati pun rela. Tidak! Aku tidak rela! AKU TIDAK MAU MATI!!" teriakku histeris.
Tapi aku bisa apa. Tubuhku tidak bisa bergerak.
Aku hanya bisa pasrah saat kaki pria itu semakin tak berjarak dengan tubuhku.
"Selamat tinggal Kenzo ... "
KREKKK!!
"Mampus kau kecoak!"
-TAMAT-
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel
Wadaw... .sakit banget digilas sepatu
BalasHapusAmbyar mbak 😁 maturnuwun sdh baca 🙇♀️
Hapus